Politik Era Web 2.0

Sinmeta,- Dengan memahami perubahan besar yang terjadi dalam dunia teknologi pastilah akan merubah perilaku dan peran politik di era metaverse (web 3.0). Bagaimana transformasi politik bisa terjadi pada platform digital ? Apa saja manfaat dan keunggulan yang bisa diperoleh ? Seperti apa dampak yang bisa terjadi ?

Politik era Web 2.0

Media politik di seluruh dunia telah mengalami perubahan akibat distrupsi teknologi besar-besaran selama tiga dekade terakhir. Cakupan perkembangan media baru ini sangat luas, mencakup baik sumber warisan maupun platform komunikasi yang sepenuhnya baru yang dimungkinkan oleh teknologi yang muncul. Era media baru dimulai pada 1980-an ketika acara bincang-bincang di televisi dan radio serta surat kabar menjadi arena penyampaian konsep politik. Perubahan menjadi lebih radikal ketika Internet muncul sebagai sistem penyampaian konten politik pada 1990-an. Teknologi digital pertama kali mendukung platform di mana pengguna dapat mengakses dokumen dan brosur serta dapat membuat situs dengan fitur interaktif. Publik mengamati politik yang lebih luas informasinya melalui teknologi dan memungkinkan mereka bereaksi terhadap peristiwa politik. Publik juga dapat berkomunikasi langsung dengan kandidat dan pemimpin politik dengan cara menyumbangkan berita, gambar, video dan konten. Selain itu media baru tersebut memberi sumbangsih terhadap aktivitas politik, penggalangan dana dan pengorganisasian demonstrasi. Pada saat yang sama wartawan jurnalis juga memperoleh berita. Politisi menggunakan metode baru untuk menyampaikan pesan kepada publik, elit politik lain dan pers. Selain itu Politisi juga menyampaikan opini kepada konstituen, merekrut relawan dan memobilisasi pemilih (Davis dan Owen, 1998; Owen, 2017a).

Teknologi telah membuat banyak perubahan dalam dunia politik. Samuel Finer dalam bukunya History of Government menyatakan bahwa perkembangan politik sebuah negara modern tidak lepas dari perubahan teknologi yang terhubung dengan revolusi industri. Michael Mann memaparkan dalam The Source of Social Power, apabila teknologi tidak digunakan dalam infrastruktur kekuasaan maka negara tidak mungkin dapat ikut campur mengurusi masyarakat sipil. Dengan teknologi, negara dapat meningkatkan pelayanan seperti infrastruktur komunikasi, transportasi dan administrasi.

Teknologi telah banyak mengubah cara politik berkompetisi sebagai akibat revolusi informasi yang sangat cepat menurut Bimber (2003). Penelitian Kalathil dan Boas (2003) memperlihatkan bagaimana dampak teknologi jaringan seluler digunakan pemerintah otoriter di Afrika untuk aksi kolektif (collective action). Dengan kata lain politik dan teknologi dapat berjalan bersama tanpa mendahului satu dengan lainnya.

Diana Owen (2018) membahas tren terkait kebangkitan media sosial yang relevan dengan politik demokrasi di Amerika Serikat. Pertama, ada perubahan besar cara orang mendapatkan informasi politik, karena semakin banyak orang beralih ke sumber digital dan meninggalkan berita televisi. Selanjutnya, munculnya politik dengan media Twitter justru telah menjadikannya lokus komunikasi antara politisi, warga negara dan pers. Yang kemudian bisa saja menjadi rentan karena politik negatif yang menodai wacana politik itu sendiri dan mendorong penyebaran informasi yang salah.

Evolusi media sosial seperti Facebook, Twitter dan YouTube kini menjadi alat politik yang kuat dan berkembang dengan pesat serta sangat strategis. Peran politik di media sosial mulai dibangun pada saat pemilihan presiden Amerika 2008. Strategi media sosial Barack Obama merevolusi kampanye dengan merubah struktur pengorganisasian politik. Kampanye Obama mengangkat karakteristik gerakan sosial dengan mobilisasi akar rumput secara digital (Bimber, 2014). Kampanye politik seperti ini memanfaatkan potensi jejaring, kolaborasi, dan komunitas dari media sosial.

Obama menggunakan media sosial untuk menarik perhatian pemilih dengan bantuan analisis data yang memandu pesan yang ditargetkan. Pemilih membuat dan memperkuat pesan tentang kandidat tanpa melalui organisasi kampanye formal atau partai politik (Stromer-Galley, 2016).

america social media
america social media

Video paling viral dalam kampanye 2008, seperti Obama Girl dalam BarelyPolitical.com dan Yes, We Can dalam will.i.am, yang diproduksi secara independen menarik jutaan pemirsa (Wallsten, 2010). Dalam pemilihan yang unik ini, strategi yang diterapkan tim kampanye Obama menitikberatkan pada inovasi spontan dari pemilih itu sendiri.

Penggunaan media sosial oleh publik Amerika meningkat pesat setelah pemilihan presiden 2008. Ketergantungan pada media sosial terkait berita dan informasi politik terus meningkat selama dekade terakhir. Menurut Pew Research Center, 68% orang dewasa Amerika pada tahun 2018 mendapat berita dari media sosial setidaknya sesekali, dan 20% sering mengandalkan media sosial untuk mendapatkan berita (Shearer dan Matsa, 2018).

Pew Research Center menunjukkan persentase orang Amerika yang secara teratur menggunakan setidaknya satu situs media sosial seperti Facebook, Twitter, atau LinkedIn dari waktu ke waktu. Hanya sedikit orang yang aktif di media sosial antara tahun 2005 dan 2008. Bahkan selama kampanye DAS 2008, hanya 21% publik yang menggunakan media sosial. Namun, pada tahun 2009, jumlah orang yang online telah melonjak menjadi 42% karena media sosial menguasai bidang politik menjelang pemilihan paruh waktu tahun 2010. Tea Party, sebuah gerakan populis yang terorganisir mencalonkan kandidat tertentu guna meraih jabatan, sangat bergantung pada media sosial. Media Mainstream dipaksa untuk meliput pernyataan media sosial Tea Party, yang membantu platform digital untuk mendapatkan popularitas di kalangan pemilih. Pengguna media sosial yang tetap setia pada Tea Party menonjol di antara pendukung yang secara aktif bekerja atas nama kampanye Donald Trump dengan memobilisasi pemilih di jaringan mereka (Rohlinger dan Bunnage, 2017). Pada tahun 2013, lebih dari 60% masyarakat menggunakan media sosial. Persentase pengguna media sosial telah turun mendekati 70% sejak pemilihan presiden 2016.

Politik era Web 2.0

Oleh: Marlon Semuel Contantin Kansil, S.Pi., M.Si.

baca sebelumnya : Distrupsi Politik di Era Metaverse

Bagikan berita ini:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous post Pemerintah Berlakukan Tarif Baru Jaga Industri Kelapa Sawit Dalam Negeri
Next post KJRI Hamburg Promosikan UKM Home Decor Indonesia Di Nordstil Sommer 2022