Memeluk Pahikung Tenun Sumba Implementasi Seorang Ibu Dalam Gambaran Kehidupan

Sinmeta-, Mengulik, bermain, bercengkrama, dan belajar untuk mendalami sebuah karya nan agung , penuh filosofi-filosofi kehidupan dan makna-makna dari setiap rentangan tangan , usapan jari-jari nan lentik dengan kesabaran dan ketekunan yang patut kita jadikan panutan. Di sini kita belajar mengenali, memahami, mencintai, dan mengajak untuk lebih dalam lagi merengkuh kain-kain tradisi negeri kita.

Begitu banyak jenis-jenis tenun, ada Baduy, Ayotupas, Nunkolo, Lotis dan masih banyak lagi yang bisa kita baca dari sisi filosofi dan proses pembuatannya yang aduhaiii…sangat menakjubkan.

Wastra lahir dari tangan perempuan untuk menjaga kedaulatan tubuh dari lahir serta penopang hidup hingga mengantarkan manusia tutup usia. Tiap lembar tenun, bukan hanya sekedar hamparan benang bercorak. Sehelai tenun adalah implementasi seorang ibu yang diviusalisaikan dalam gambaran kehidupan, alam semesta raya flora dan fauna yang diceritakan lewat tangan-tangan terampil.

Seperti halnya pada filosofi mamuli, yang melambangkan rahim perempuan, tempat awal kehidupan manusia. Orang Sumba menaruh hormat setinggi-tingginya pada perempuan dengan menjadikannya pada motif kain dan benda-benda asesories.

Ini melampaui slogan “Surga Di Telapak Kaki Ibu”.

Tenun mencerminkan perempuan nan maha dahsyat di Indonesia, menghantarkan kita semakin memahami dan mencintai Indonesia.

Motif Andung atau Pohon Hayat, adalah pohon yang ditanam didepan pintu gerbang, apabila pulang dari berperang, kepala kepala musuh digantung di pohon itu. Andung menjadi simbol kemenangan dan kekuatan karena telah mengalahkan musuh.

Motif Tangawahil atau tempat sirih pinang. Orang Sumba punya kebiasaan menyesap sirih sebagai ungkapan penghormatan atau penghargaan pada tamu yang datang ke rumah disuguhi sirih pinang. Ungkapan sambutan sekaligus ungkapan kebahagiaan.

Motif Karangga Datar atau Ranting. Ungkapan rasa syukur manusia akan keindahan alam sekitarnya. Burung atau Manginu sebagai lambang keindahannya. Dan yang memakai bisa memberikan rasa kedamaian, mampu mengayomi masyarakat dan orang orang sekitarnya.

Jadi, apa yang dilihat orang tua diceritakan melalui tenun agar anak cucu bisa meniru perilaku baik pada simbol-simbol alam baik pohon, hewan maupun kehidupan sosial manusia. Kita bisa belajar akhlak, lelaku hidup dari selembar kain. Bahwa tenun bukan semata untuk menyelimuti tubuh tapi juga menjadi pedoman hidup.

Mari menebar aura kebahagiaan di Sapa Wastra yang membuat diri ini ingin selalu dan selalu belajar menjadikan diri kita down to earth.

)**by Elya, dirangkum dan ditulis ulang berdasarkan penjelasan dari pemaparan disampaikan Nury Sybli, aktivis perempuan dan praktisi wastra nusantara

Bagikan berita ini:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous post Mobilisasi Politik, Ideologi Baru & Reaksi Konservatisme
Next post Dewan Juri FFWI 2022 Dilantik, Tahun Ini 4 Genre Jadi Penilaian Juri