Kesejahteraan Petani Masih Rendah, HKTI Cari Strategi Tingkatkan Sektor Tani

SINMETA.ID, Jakarta – Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jenderal TNI (Purn) Dr. Moeldoko menjelaskan bahwa  kesejahteraan petani di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan pekerja di sektor lainnya, yakni menurut sumber data Badan Pusat Statistik (tahun 2022) sekitar 43% penduduk miskin bergerak di bidang sektor pertanian dengan pendapatan rata-rata Rp. 1,9 juta per bulan.

Hal ini disampaikan Ketua Umum DPP HKTI Jenderal TNI (Purn) Dr Moeldoko dalam Seminar Nasional Pangan yang diadakan pada Kamis (16/03/2023) di The Sultan Hotel & Residence, Jakarta. Acara Seminar Pangan Nasional Pangan yang digagas oleh Kajian Nagara & Riset Nagara Institute yang dipimpin oleh Dr Akbar Faizal, M.Si. Acara ini dihadiri oleh sejumlah tokoh diantaranya adalah Ketua Umum DPP HKTI, Direktur Eksekutif Riset Nagara Institute, Menteri Pertanian, Kepala BAPANAS, Ketua Komisi IV DPR RI, Ketua Perum BULOG, dll.

Padahal Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai luas lahan pertanian yang luas dengan sumber daya alam berlimpah dan beraneka ragam. Sebagai negara agraris mempunyai peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat untuk meningkatkan sektor sosial, perekonomian dan perdagangan.

Potensi lahan dan kesesuaian iklim menjadi faktor penguat perluasan dan peningkatan produksi hasil tani. Sangat disayangkan juga masih terdapat berbagai faktor internal yang mempengaruhi akan permasalahan pertanian, diantaranya :

Alih fungsi dan fregmentasi lahan pertanian

Meningkatkan persaingan penggunaan air untuk irigasi pertanian dan penggunaan aktivitas ekonomi lainnya;

Menurunnya kualitas tanah dampak dari eksploitasi dan pemanfaatan berlebihan;

Tenaga pertanian/petani, yang semakin menua (aging)

Petani selaku kunci dari pangan Indonesia selama ini diharapkan dapat tetap sehat dan bekerja dengan maksimal,permasalahannya adalah saat ini jumlah petani di Indonesia banyak yang tergolong masuk ke usia tua, minim sekali jumlah petani dari kalangan milenial. Secara nasional mayoritas petani yang menguasai luas lahan sempit dan berusia lanjut, dimana rata-rata hanya menggarap 0,5 hektar yakni ada sekitar 58,1%.

Di pulau jawa lebih banyak lagi petani yang hanya menguasai rata-rata 0,5 hektar yaitu sekitar 86%. Sedangkan jumlah petani yang berusia antara 55 sampai dengan 65 tahun adalah sekitar 6,26 juta, dan di atas 65 tahun ada sekitar 4,12 juta petani. (sumber : Survey Pertanian Antar Sensus (SUTAS), 2018.

Perubahan iklim yang terjadi saat ini juga sangat berpengaruh pada sektor pertanian, rata-rata per tahun ada sekitar 188.662 hektar lahan sawah yang terendam banjir, dan 255.974 hektar lahan sawah mengalami kekeringan. Belum lagi dari faktor permasalahan eksternal lainnya yakni :

Terbatasnya akses petani terhadap teknologi terutama yang terkait dengan input pertanian, seperti benih dan pupuk.
Terganggunya alur rantai pasok atau pemasaran hasil-hasil pertanian.

Dampak dari masalah pertanian ini sangat mempengaruhi produktivitas dan menjadikan biaya prod

uksi mahal. Dimana salah satu contohnya produktivitas padi -0,814% per tahun (2015-2020), dan biaya produksi gabah Indonesia (Rp. 2.975/kg). Sedangkan Vietnam lebih rendah harganya yaitu Rp. 1.679/kg, disusul Thailand Rp. 2.291/kg, dan India Rp. 2.306/kg. Maka inilah yang menyebabkan harga beras lebih mahal.

Budi Waseso menjelaskan harga beras di pasar dalam negeri memang jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan negara-negara lain penghasil beras, “ini masalah-masalah yang kita hadapi saat ini. Kalau harga di kita lebih tinggi, nanti ada intervensi dari negara lain yang ingin jual di kita karena lebih mahal,” kata Budi Waseso, Kepala Bulog di Sultan Hotel Jakarta, Kamis (16/03/2023).

“Kalau produksi kita optimum bisa men

• Usaha pertanian didominasi oleh pertanian skala kecil, dan umumnya lemah kemampuan permodalan serta akses terhadap input pertanian;

capai 9 ton per hektare, berarti bisa efisien sehingga harga pangan menjadi murah.” Ujar Jenderal TNI (Purn) Dr. Moeldoko, di The Sultan Hotel Jakarta Kamis (16/03/2023).

Maka diperlukan strategi pemerintah untuk bisameningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam pemberdayaan petani untuk bisa naik kelas dan sejahtera. Selain itu perlunya bersinergi dengan berbagai stakeholders. Pada saat penanaman pemerintah harus berani mensubsidi petani. Misalnya adanya support penggunaan teknologi pengolahan lahan, penggunaan benih padi unggul bersertifikat, subsidi pupuk, sibsidi bunga KUR Pertanian.

Selain itu perlunya ketegasan dari pemerintah dalam melaksanakan kebijakannya. Jangan sampe petani menanam komoditi seperti beras, jagung, dan lainnya sementara pemerintah impor beras, jagung, atau lainnya. Sehingga ini akan mengakibatkan daya beli dalam negeri berkurang. Hal ini tentu akan berefek pada pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Peran para penyuluh-penyuluh petani dari kementerian maupun dinas juga perlu dioptimalkan. Maka perlunya konsentrasi penyuluhan dalam pemberdayaan petani untuk 

mengembangkan produksi hasil tani. Dengan demikian besar harapan pemerintah untuk bisa turut aktif dari awal panen hingga pasca panen karena pemahaman petani terbatas. Membuat sebuah sistem pertanian dimana masyarakat mempunyai ketertarikan dalam bidang pertanian dengan penghasilan yang sesuai. Jika ini terjadi maka Indonesia swasembada pangan dan masyarakat tani sejahtera.

(Indiska Handiana Mughni, S.Ikom., M.Ikom

Bagikan berita ini:

One thought on “Kesejahteraan Petani Masih Rendah, HKTI Cari Strategi Tingkatkan Sektor Tani

  1. Aq punya bisnis yg mungkin bisa membantu utk pertanian kopi yg bisa di olah bersamaan dgn bahan rempah2 utk di packing menjadi kopi saset dan bisa di jual keseleruh pronpinsi di Indonesia dan negara2 Asean dan Europa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous post 4 Pilihan Kuliner Antimainstream di Kota Bogor
Next post “Sirna” Menjadi Debut Awal yp di Industri Musik Indonesia