Sinmeta-, Di dunia perkerisan, Banten merupakan “jejak yang hilang”. Jejak sejarahnya ada, terrentang dalam kurun waktu lama (1526-1813). Tiga abad lebih, tapi konon “kerisnya nggak ada”. Kerajaan ini pernah jaya dan kaya raya karena rempah-rempah terutama lada yang ditanam di wilayah Lampung. Bandarnya pun internasional, dan banyak berhubungan dengan negara-negara Eropa. Tak hanya Belanda, akan tetapi juga Portugal dan Inggris.
Namun di dunia perkerisan yang sering menyentuh jejak sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu bekas sejarahnya seolah hilang ditelan zaman. Tidak dikenal jejak kerisnya di negeri sendiri, akan tetapi justru bertebaran peninggalannya di seantero kerajaan di Eropa.
Kerajaan Banten merupakan pengembangan kekuasaan kerajaan pesisir ‘penerus’ Majapahit, yakni Demak dan Cirebon. Bahkan Sultan Pertamanya merupakan putra Sunan Gunung Jati dari Cirebon.
Peninggalannya Demak di Cirebon ?. Ada banyak. Terutama saat Demak dan Cirebon menjadi semacam aliansi, terutama setelah Adipati Unus menikah dengan putri Cirebon Putri Wulung Ayu anak Sunan Gunung Jati di abad ke-16. Mas kawinnya, selain seperangkat gamelan berukir indah, kini sisanya masih disimpan di Museum Keraton Kasepuhan, tinggal kayu berukir gantungan gong, serta sisa-sisa instrumennya.
Ada juga peninggalan empat pucuk wedung dari Pati Unus untuk mertuanya, Sultan Cirebon, yang sampai sekarang bisa dilihat di sebuah ruangan khusus di Museum Kasepuhan, namanya Gedong Jinem. Ruangan khusus ini hanya dibuka seminggu sekali pada hari Minggu (atau Jumat) di museum yang setiap hari dibuka untuk umum dari 08.00-14.00.
Adipati Unus, memerintah di sela pemerintahan Sultan Trenggono. Sultan Trenggono memerintah (1505-1513) dan (1521-1546). Sedangkan Pati Unus memerintah Demak (1518-1521). Trenggono kakak Adipati Unus. Sementara Adipati Unus, adalah Putra Mahkota Raden Patah buah perkawinan dengan putri dari Vietnam (menurut sebuah sumber tertulis). Pati Unus meninggal dalam serangan tentara Demak ke semenanjung Malaya. Serangan Demak ke Malaya ini adalah serangannya yang kedua.
Sultan Muhyi
Kerajaan Banten yang didirikan atas aliansi Demak dan Cirebon mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683). Maka kalau kedua duta (yang ditulis di atas, disebut oleh Inggris sebagai Sir Abdul dan Sir Ahmed), itu tentunya terjadi pada masa Sultan Ageng Tirtayasa ini (1682).
Apakah ada jejak kerisnya, baik gaya pembuatan bilahnya maupun warangkanya yang menjadi semacam identitas setiap kerajaan? Rupanya ada. Dan tersimpan dengan baik serta rapi, bisa dilihat sampai hari ini di satu etalase khusus pusaka-pusaka peninggalan Sultan Muhyi (Muhyiddin Zainussalihin).
Pusaka-pusakanya tidak hanya masih utuh, akan tetapi juga unik. Dan jika dicermati teliti, gaya pembuatan bilahnya tidak sama dengan keris-keris Jawa yang dikenal masyarakat perkerisan. Terutama rancang bangunnya. Dimensinya juga beda (lebih besar dan lebih kekar dari keris-keris Mataram). Akan tetapi, ada kemiripan dengan Cirebon. Tetapi tidak sama.
Kisah di balik peninggalan yang cukup ‘lengkap’ dari Sultan Muhyi di Museum Gajah ini ternyata cukup getir. Ia tidak lama memerintah (1799-1801). Penggantinya, putra mahkota Muhammad Syafiuddin masih belum dewasa, sehingga pemerintahannya dipegang wali yang bernama Suramenggala, sebagai caretaker atau wakil sultan.
Pada masa kekuasaan Muhammad Syafiuddin (1809-1813) yang ketika bertahta bergelar Sultan Muhammad bin Muhyidin Zainussalihin Banten begitu lemah akibat tekanan global silih berganti mempengaruhi negeri kaya, Banten ini.
Sebelum Sultan Syafiuddin (ada yang mengeja Shafiuddin) ini bertahta, pada 22 November 1808, Gubernur Jendral Hindia Belanda Herman Willem Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang, bahwa “wilayah Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda…,”
Kemudian, ketika Inggris memerintah Hindia Belanda (1811-1816) setelah jatuhnya pelabuhan Batavia ke tangan 60 armada Inggris (menurut sejarawan McRicklefs pada 1 Agustus 1811), maka Sultan Muhammad Shafiuddin anak Sultan Muhyi ini dilucuti serta dipaksa turun tahta oleh penguasa Inggris, Thomas Stamford Raffles (1813). Berakhir pulalah, riwayat kerajaan Banten.
Dilucutinya Sultan Shafiuddin anak Sultan Muhyi ini merupakan puncak runtuhnya kekuasaan Banten, setelah sebelumnya semasa Sultan Ageng Tirtayasa di abad 17, Banten pernah diblokade perusahaan dagang Belanda, VOC. Tindakan yang membuat Sultan Ageng tidak senang, membuat Sultan Ageng Tirtayasa pun memimpin rakyat Banten untuk menyerang VOC di Batavia pada 1656.
Nah, perlucutan Sultan Shafiuddin oleh Inggris ini merupakan kemuncak keruntuhan Banten. Banten secara fisik sudah dihancurkan lebih dulu oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1808, Herman Willem Daendels Gubernur Jendral Hindia Belanda (1808-1810) memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos dari Anyer demi untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris.
Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer, dan menyediakan tenaga kerja guna membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, maka sebagai jawaban balik Daendels pun memerintahkan penyerangan atas Banten.
Dan Istana Banten, Surosowan pun dihancurkan rata dengan tanah. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan, Istana Surosowan sebelum diruntuhkan, dan kemudian dipindah penjarakan di Benteng Speelwijk milik Hindia Belanda.
Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutagin kemudian diasingkan ke Batavia. Dan pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari benteng Speelwijk, Kesultanan Banten sudah diserap masuk Hindia Belanda. Selain itu, Daendels juga mengeluarkan keputusan bahwa Banten melepaskan kekuasaannya atas Lampung, daerah perkebunan lada kerajaan Banten. (ganjawulung pakbo; foto jimmy s harianto)