Analisis Pengajuan Judicial Review terhadap UU No 7 Tahun 2017

SINMETA.CO.ID, Jakarta – Menanggapi pengajuan judicial review dari Audrey Tangkudung dan kawan-kawan pada tanggal 13 Mei 2024 ke Mahkamah Konstitusi yang berhubungan dengan masa pelantikan presiden dan wakil presiden menjadi sudah menjadikannya sebagai isu strategis. Hal ini patut di beri perhatian sebagai bentuk pembelajaran politik dan hukum di masa yang akan datang

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengatur tentang berbagai tahapan penyelenggaraan Pemilu, termasuk pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilantik paling lambat 60 hari setelah penetapan oleh KPU.

Beberapa pihak (Audrey dkk) telah mengajukan permohonan Judicial Review (uji materi) terhadap Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para pemohon meminta MK untuk mengubah ketentuan tersebut agar pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilakukan paling lambat 3 bulan setelah penetapan oleh KPU.

Para pemohon mengajukan beberapa argumen untuk mendukung permohonannya, antara lain:

•⁠ ⁠Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Menurut para pemohon, ketentuan 60 hari terlalu singkat dan tidak memberikan waktu yang cukup bagi Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk mempersiapkan diri sebelum menjalankan tugasnya. Hal ini dapat mengakibatkan kekacauan dan ketidakstabilan politik.
•⁠ ⁠Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu tidak sejalan dengan prinsip demokrasi. Menurut para pemohon, rakyat berhak untuk memiliki pemimpin yang definitif sesegera mungkin setelah Pemilu. Menunda pelantikan selama 60 hari dapat menimbulkan keraguan dan ketidakpastian di masyarakat.
•⁠ ⁠Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu tidak mempertimbangkan kompleksitas tugas Presiden dan Wakil Presiden. Menurut para pemohon, Presiden dan Wakil Presiden memiliki tugas yang sangat kompleks dan membutuhkan waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri. Menunda pelantikan selama 60 hari dapat menghambat kinerja pemerintahan.

Permohonan Judicial Review terhadap Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu ini merupakan isu yang penting dan memiliki konsekuensi yang besar bagi sistem politik di Indonesia. Untuk itu MK perlu mempertimbangkan dengan saksama semua argumen yang diajukan oleh para pemohon dan pemerintah sebelum mengambil putusan.

Menurut George Kuahaty, beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan oleh MK ketika menanggapi pengajuan tersebut adalah:

•⁠ ⁠Kebutuhan waktu untuk mempersiapkan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
•⁠ ⁠Potensi kekacauan dan ketidakstabilan politik jika pelantikan ditunda.
•⁠ ⁠Hak rakyat untuk memiliki pemimpin yang definitif sesegera mungkin setelah Pemilu.
•⁠ ⁠Prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat.
•⁠ ⁠Kompleksitas tugas Presiden dan Wakil Presiden.

Pada akhirnya MK memiliki kewenangan untuk mengubah atau membatalkan norma hukum yang bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK dalam perkara Judicial Review ini akan menjadi preseden penting bagi masa depan sistem politik di Indonesia, kata George

Perlu dicatat bahwa analisis ini hanya berdasarkan informasi yang tersedia saat ini. MK belum mengambil putusan dalam perkara Judicial Review ini. Oleh karena itu, penting untuk mengikuti perkembangan perkara ini dengan seksama.

George Kuahaty
Direktur Riset dan Penelitian Indonesia

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *