Puzzle Politik Jokowi : Membaca Strategi Politik Pilihan Jokowi

SINMETA.ID, Jakarta – Esuk Dhele, Sore Tempe atau “Pagi Kedelai, Sore Tempe“. Begitu kiasan yang dilabelkan kepada Jokowi oleh orang-orang yang kesal melihat sikap Jokowi yang dianggap belum jelas menunjukan keberpihakannya.

Secara harafiah esuk dhele, sore tempe artinya memang pagi kedelai, sore tempe. Namun ini dalam filosofi Jawa berarti orang yang tidak memiliki pendirian atau tidak tetap ucapannya. Jokowi dituding ‘mencla-mencle’. Kadang memberikan sinyal mendukung Ganjar, tapi di lain waktu justru cenderung memberi ‘angin segar’ bagi Prabowo untuk maju menjadi Capres 2024.

Bisa jadi Jokowi memang tidak tegas menunjukan keberpihakannya, lantaran memberikan ruang politik bagi Ganjar dan Prabowo. Karena keduanya adalah anak buah Jokowi. Ganjar itu Gubernur, Prabowo itu Menteri. Menurut Jokowi, dalam negara demokrasi, mustahil seorang presiden melarang anak buahnya mencalonkan diri sebagai presiden.

“Enggak mungkin presiden ada misalnya menteri yang (datang) ke saya untuk menyampaikan itu kemudian saya bilang tidak, enggak bisa,” begitu kata Jokowi ketika ditanya wartawan.

Buat mereka yang bernafsu ingin menyeret Jokowi agar segera ‘cawe-cawe’ untuk menentukan figur yang akan menggantikan Jokowi tentu ‘gregetan’ banget. Tidak sabar. Buah dari Ketidaksabaran itu membuatnya gelap mata dan dengan mudah memberi label pengkhianat partai ketika melihat Jokowi ‘bermesraan’ dengan Prabowo.

Memahami langkah politik Jokowi tidak boleh parsial. Mencermati gaya komunikasi Jokowi seperti kita menyusun kepingan puzzle. Apa yang dikatakan hari ini tidak bisa dikontradiksikan dengan kalimat yang disampaikan di waktu yang lain. Kata, sikap dan tindakan Jokowi seperti bagian dari kepingan-kepingan puzzle. Jika satu saja kepingan puzzle dihilangkan, maka kita akan kesulitan mendapat gambaran besar dari sikap politik Jokowi.

Mengharapkan Jokowi bicara secara lugas dan terbuka tentang Capres yang didukungnya mungkin akan menjadi harapan yang sia-sia. Karena tidak akan pernah terjadi.

Pernyataan Jokowi bahwa “demi bangsa dan negara akan cawe-cawe” dalam proses politik jelang pemilihan presiden tidak bisa dimaknai sebagai bentuk dukungan pada satu figur Capres. Karena Jokowi paham aturan main. Begitu Jokowi menyampaikan dukungan politik ke salah satu kandidat presiden, maka Jokowi akan terjebak dengan langkah politiknya sendiri.

Jokowi juga tidak bisa memaksakan siapapun menerjemahkan ucapan, sikap, dan tindakannya sesuai dengan keinginannya. Boleh saja, misalnya Adian Napitupulu atau Ulin Niam Yusron dengan menggebu-gebu berimajinasi dengan persepsinya sendiri, bahwa Jokowi sudah pasti memberikan dukungan kepada Ganjar. Atau Budi Arie Setiadi, pentolan Relawan Pro Jokowi, menerjemahkan sinyal dari Jokowi bahwa Jokowi mendukung Prabowo. Itu hak masing-masing untuk meyakinkan dirinya, seakan mereka sudah ‘on the track’ atau tegak lurus dengan Jokowi.

Memahami Jokowi gampang. Tidak perlu rumit. Mungkin kita perlu mengingat kembali kata-kata Sastrawan kondang Pramoedya Ananta Toer. Ia bilang: ”Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.”

Apa yang diinginkan Jokowi sesungguhnya sederhana. Mudah membacanya. Ia hanya ingin mewariskan legacy kepemimpinannya. Bukan sesuatu yang muluk.

Jadi, nggak perlu repot-repot dengan tafsiran Jokowi begini, dan Jokowi begitu. Apalagi mendesak-desak ia untuk mendukung capres tertentu. Ini kemungkinannya kecil terjadi, dan tentu menyalahi etika-etika demokrasi. Pastinya Jokowi cukup cerdas memahami hal tersebut.

 

[AZ] – Cakra Manggilingan Institute

Bagikan berita ini:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous post Kapal Imigran Tenggelam di Cape Verde, 63 Orang Tewas
Next post Presiden Jokowi Tinjau Pasar Sukaramai di Kota Medan