Sinmeta-, Wakil Presiden ke-6 periode 1993–1998 sekaligus Ketua Dewan Kehormatan DHN 45, Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, mengajak seluruh elemen bangsa untuk re-konsensus nasional kembali kepada UUD 1945 naskah asli. Dan Try Sutrisno mengatakan, re-konsensus harus diawali dengan kaji ulang konstitusi yang merupakan sebuah keharusan dan keniscayaan.
Menurutnya, hal itu dilakukan agar bangsa ini tak lagi mengulang kesalahan pada masa lalu, ketika UUD 1945 naskah asli tak digunakan sebagai dasar penyelenggaraan negara.
“Kita punya kesalahan masa lalu, ketika pada tahun 1950-1959 kita tak menggunakan konstitusi naskah asli. Akhirnya tokoh TNI menghadap Bung Karno. Untuk mengembalikan situasi yang karut marut, maka Bung Karno diminta kembali kepada UUD 1945 yang akhirnya dilakukan dengan mengeluarkan Dekrit Presiden”, terang Try Sutrisno saat Dialog Nasional Kebangsaan Dewan Harian Daerah Badan Pembudayaan Kejuangan 45, di Gedung Nusantara V Komplek Parlemen Senayan (17/9).
Sebelum kembali kepada UUD 1945, Try Sutrisno menyebut pembangunan tak berjalan. Banyak sekali terjadi gangguan seperti pemberontakan PKI di Madiun, DI/TII dan gangguan lainnya yang menunjukkan ketidakstabilan bangsa. Jika melihat saat ini, Try Sutrisno menyebut amandemen konstitusi yang terjadi pada tahun 1999-2002 banyak kekeliruan. Try Sutrisno tak anti terhadap perubahan dan perkembangan zaman.
“Namun, manakala ada perkembangan zaman, tuntutan rakyat, silakan disesuaikan. Amandemen kemarin itu (tahun 1999-2002) banyak cacatnya. Yang terjadi itu bukan amandemen, tapi mengubah konstitusi kita, karena sudah tak berdasar pada pada pembukaan maupun Pancasila itu sendiri”, kata Try Sutrisno.
Diungkapkan oleh Try Sutrisno, sebagai bangsa pejuang dan perintis kemerdekaan, mestinya kita bangga sebagai bangsa yang mandiri, memiliki harga diri dan berbudaya luhur. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia bukan bangsa individualis sebagaimana paham Barat.
“Bangsa Indonesia ini sesuai dengan ajaran agama, baik secara pribadi maupun anggota masyarakat. Ini dirumuskan dengan bijak, pendek, luwes, fleksibel, singkat, namun menjangkau ke masa depan. Inilah makna UUD kita”, kata Try Sutrisno.
Yang terjadi setelah reformasi, menurut Try Sutrisno, hampir seluruh tokoh yang telah berada di luar pemerintahan sangat peduli terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga terus memonitor keadaan di MPR. Lalu muncul agenda amandemen. “Ditilik dari aspek prosedural maupun operasional dan materinya, kami mengkajinya dengan baik implikasi, akibat yang ditimbulkan dari amandemen itu”, terangnya.
Secara prinsip, Try Sutrisno menegaskan bahwa para tokoh saat itu sama sekali tak menghambat agenda Reformasi, termasuk amandemen konstitusi. Namun, khusus untuk amandemen konstitusi harus dilakukan dengan hati-hati, cermat dan teliti karena menyangkut sumber dari segala sumber hukum.
“Singkatnya, setelah selesai amandemen, beberapa waktu kemudian MPR menerbitkan TAP Nomor 1 yang intinya mengkaji secara komprehensif empat kali amandemen dengan membentuk Komisi Konstitusi”, terang Try Sutrisno.
Pengkajian secara komprehensif pun dilakukan. Namun Try Sutrisno menyayangkan, setelah hasilnya keluar dan diserahkan kepada Badan Pekerja MPR, tidak di-follow up. “Mestinya dipelajari, diserahkan kepada forum diterima atau tidak. Itu tidak dilakukan. Apa artinya ini. Ini satu hal yang prinsip”, tuturnya.
Pada saat perubahan konstitusi dilakukan, Try Sutrisno juga melihat ada campur tangan asing, baik dari negara asing secara langsung, maupun melalui LSM perpanjangan tangan mereka yang ada di Indonesia. “Ada LSM Indonesia yang dibiayai untuk ikut rapat amandemen itu dengan anggota MPR. Ini memalukan !”, tegasnya.
Menurut Try Sutrisno, MPR merupakan rumah rakyat yang berdaulat dan didirikan dengan penuh pengorbanan. Mengapa saat Reformasi ada campur tangan asing dalam hal amandemen. Tidak hanya materi saja, membiayai juga untuk mengubah, namun intinya ingin menghilangkan NKRI dan Pancasila.
Setelah Amien Rais berhenti, pada masa bakti Hidayat Nur Wahid MPR lebih memfokuskan pada sosialisasi empat kali amandemen tersebut, baik di dalam maupun di luar negeri. Sedangkan pada masa Taufiq Kiemas, Try yang saat itu aktif mendorong agar dilajukan kaji ulang konstitusi mendapat garansi dari suami Megawati Soekarnoputri tersebut.
“Taufik Kiemas bilang, Pak Try jangan gusar. Saya sudah membuat empat pilar kebangsaan. Dengan itu, Indonesia akan tetap terjaga dengan baik”, tutur Try Sutrisno.
Pada masa Zulkifli Hasan, Try Sutrisno menyebut kembali mencuat wacana pengkajian. Ada dua badan pengkajian yang dibentuk. Sayang, Try menyebut kajian itu tak dilakukan secara konkret. “Sia-sia dan buang-buang uang saja, buang waktu dan energy”, katanya.
Saat ini, kata Try Sutrisno, MPR juga tengah melanjutkan melakukan pengkajian. “Harapan kita, kiranya badan pengkajian ini supaya dapat membetulkan kembali hal keliru dalam amandemen sebanyak empat kali itu. Di luar itu, kami juga terus berjuang dan merumuskan bagaimana cara operasional kembali kepada UUD 1945”, tuturnya.
Ada delapan cara. Ada istilah dekrit, amandemen kelima, amandemen terbatas dan lain sebagainya. “Intinya kembali, kita menerima adanya perubahan. Itulah adendum. Dekrit kembali seutuhnya tidak ada tambahan. “Tapi kita serahkan yang sekarang memakai istilah kaji ulang UUD 1945. Arti kaji yang ini mengkaji secara komprehensif materi perubahan empat kali itu. Supaya konsensus menyatu istilah kaji ulang itu. UUD masih menerima perubahan. Tidak masuk ke dalam batang tubuh tapi adendum. Tidak mengubah 95 persen”, tutur Try Sutrisno.
Try Sutrisno mengajak seluruh elemen masyarakat merapatkan barisan, berangkulan sebagai sebuah bangsa utuh dan berdaulat menyelamatkan bangsa dan negara ini. “Kesesatan ini sangat besar dan prinsipil menyangkut aturan pokok berbangsa dan bernegara. Bina terus generasi muda kita”, katanya. (tjoek; foto humasmprri)