Bakau Abadi Pantai Marang Padaidi Kaliorang Kutai Timur, Saksi Perjuangan M.Asri
Sinmeta-, Mantan Sekdes Kaliorang dua periode lalu M. Asri, berharap untuk dapat mengembangkan Pantai Marang lebih maju dan semakin ramai. Dan laki-laki Bugis yang berbadan kekar dan berkumis tipis ini terus berupaya agar dapat mewujudkan cita – citanya tersebut.
“Saya asli bugis, lahir tahun 1975 di Sulawesi Selatan, dan saya merantau ke Kalimantan Timur bersama kedua orang tua, di Desa Kaliorang ini sejak tahun 1981 yakni saat usianya genap 6 tahun. Dan di sini baru ada 7 Kepala Keluarga (KK)”, kisah M. Asri.
Dahulu garis Pantai Marang sejauh dua kilometer, yaitu sampai batas jalan depan Gapura. Tapi mulai dari tahun 2000 dengan tingginya aktifitas kapal angkut batubara, yang mendorong pasir- pasir ke bibir pantai menjadi gunungan-gunungan, pantai pun menjadi dangkal menjadi daratan. Garis pantaipun kini tinggal satu kilometer sampai saat ini.
“Saya lalu mengajak keluarga dan warga bergotong-royong meratakan gunungan pasir, yang pada akhirnya di bantu dengan peralatan dari perusahaan batubara (PT. KPP) hingga tampak seperti sekarang ini”, lanjut M. Asri.
Jadi butuh waktu panjang dan perjuangan yang cukup berat pada awalnya, karena ide untuk membuat daratan pantai yang menjadi tempat istirahat dan wisata, sekaligus meyakinkan orang, mengajak para pihak, termasuk pihak pemerintah maupun swasta, tidaklah mudah.
Dan apa yang sudah tercapai, masihlah belum seberapa. Dilahan pemerintah ini dirinya ingin tempat tersebut menjadi semacam alun- alun. Dimana masyarakat bisa senang berkumpul, bersenda gurau, menikmati pantai, menggunakannya sebagai sarana olahraga pantai, kuliner dan fasilitas lain, khususnya untuk masyarakat di Kaliorang dan Kalimantan Timur pada umumnya.
Beruntung dirinya pun berjumpa dengan Amrullah, seorang warga Desa Kaliorang, yang juga salah satu staff di PT. Indexim Coalindo, dan menyampaikan keinginan maupun cita-citanya untuk membenahi Pantai Marang. “Dulu Pantai ini tidak ada, waktu kecil saya sering ikut bapak pergi menjala ikan, dari jalan ini sampai Pohon Bakau itu, kondisinya masih laut, tidak ada pantai seperti sekarang”, ungkap Amrullah.
Sebagai catatan, Pantai Marang Desa Kaliorang, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Mengandung makna, Marang yang berarti (Wikipedia, red) adalah nama desa yang berada di Kecamatan Pesisir Selatan, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung Indonesia. Yang di huni sejumlah suku seperti Lampung, Jawa, Bali, Sunda dan Semando. Dengan mayoritas masyarakat Desa beragama Islam, Hindu dan Kristen. Dan Marang di Lampung sering di juluki Miniatur Indonesia.
Begitu pula, di Kutai Kertanegara ada juga Marangkayu, sebuah Kecamatan yang yang terletak di pesisir Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Namun belum dapat di pastikan apakah ada hubungan dari kedua nama daerah tersebut, menjadi asal-muasal nama Marang.
Akan tetapi kesamaan kemajemukan masyarakat dalam suku dan agama, bisa menjadi kemungkinan besar ada kaitannya terhadap kesamaan penamaan Marang tersebut. Sebab nama Marangkayu di Kutai Kertanegara konon ada hubungannya dengan Bakau Abadi yang menjadi Icon pantai Marang yakni “Padaidi”.
“Nama Pantai Marang sudah ada sejak saya tiba di sini di tahun 1981”, ujar M. Asri.
Sedangkan Padaidi, merupakan bahasa Bugis yang artinya adalah Kita Semua, yang mempunyai tanggung jawab terhadap Darwis (Sadar Wisata) adalah kita semua, penduduk Desa Kaliorang dan pengunjung pantai Marang. “Harapan saya, generasi yang akan datang nantinya akan langsung mengenal, dan mengetahui kalau yang meintis pantai Marang “Padaidi” adalah para pendatang dari Bugis, karena menggunakan penamaan Bahasa Bugis”, papar M. Asri lagi.
Perlu diketahui pula, bahwa ketika kita memasuki gerbang Pantai Marang, dari kejauhan tampak pohon bakau kering tanpa daun, penduduk Desa Kaliorang menyebutnya “Bakau Abadi”. Bakau Abadi adalah satu- satunya pohon bakau yang terpisah di antara deretan pohon bakau dikiri dan kanannya.
Pohon Bakau dengan lingkar batang luar 2,5 M, dengan cabang-cabang berjumlah 7 Ruas, cabang yang mengarah ke bawah 5 cabang, dan yang mengarah ke atas 5 cabang dengan garis tengah beragam, akan mempunyai makna tersendiri bagi penduduk Kaliorang. Yakni bagaimana Bakau Abadi menjadi saksi akan perubahan zaman.
Catatan lainnya menyebutkan, perkembangan dari usaha perkebunan sawit yang turun temurun, perlahan bergeser kepada usaha pertambangan batubara di Kecamatan Kaliorang, sebagai bagian dari usaha pertambangan batubara di Kalimanan Timur yang tak akan habis hingga 2041 (Kompas.com 31/01/2014, red).
“Pohon Bakau itu mulai ada sekitar tahun 60-an, dan paada tahun 2019 daun nya mulai rontok dan batangnya pun mulai kering dan mati”, papar Chin Bayu, seorang pendatang dari Palu yang aktif menjadi operator alat berat di perusahaan tambang batubara di Kaliorang.
Dan Bakau Abadi ini sudah berumur diatas 60 tahun masih kokoh berdiri, dengan cengkraman 5 cabang ke bumi, dan menengadah 5 cabangnya ke langit. Saksi hidup tentang perubahan zaman, sangat mungkin akan adanya hubungan kerajaan Kutai Kertanegara (Marangkayu) dengan Pantai Marang “Padaidi”. Hal ini dapat menjadi pertanyaan bagi pemerhati sejarah terutama di Kutai Kalimantan Timur, untuk bisa di kabarkan kepada generasi sekarang ini.
Sebagaimana kokohnya Bakau Abadi yang masih tegak tumbuh kuat, seperti hati M. Asri, yang merintis Pantai Marang “Padaidi”. Selain kuta pula bersemayam di hati penduduk Desa Kaliorang, tentunya di tengah makin meningkatnya produksi Batubara yang belum tentu bisa dinikmati secara adil bagi penduduk desa Kaliorang dan sekitarnya.
Seperti pepatah yang mengatakan, Ombak Tak Akan Lelah Mencapai Pantai, sebagaimana Pohon Bakau Abadi, tetap kokoh berdiri, walau terus di terjang ombak saat pasang. “Bakau Abadi pasti akan keropos dan tumbang, tapi nama Bakau Abadi tetap ada selama pantai Marang masih ada,” tegas M.Asri.
Pantai Marang adalah “Padaidi”, kitalah yang harus menjaga, meramaikan dan mengembangkannya kembali, untuk kita, keluarga kita, kerabat kita, dan generasi yang akan datang.
Oleh : Iwan Darma
(Yayasan Laksana Abdi Bangsa Mandiri, untuk Perdamaian dan Kemakmuran Suku Bangsa)