Sinmeta-, Sembilan belas juta orang di dunia mengalami kurang gizi. Tiga ratus sembilan puluh empat juta masyarakat global sedang kesulitan dalam sektor pangan. “Menghadapi situasi ini kita ngapain? Ini yang harus kita cari solusinya”, jelas Moeldoko.
Saat ini ketersediaan pangan domestik masih sangat baik. Dalam tiga tahun terakhir, sebut dia, produktivitas di sektor pertanian terutama pada komoditas beras mengalami surplus. Sehingga kebutuhan konsumsi nasional tercukupi.
Meski demikian, capaian tersebut tidak boleh membuat Indonesia lengah. Apalagi, situasi dunia terus berubah sangat cepat. Seperti perubahan iklim dan cuaca serta kondisi geopolitik global.
“Perubahan iklim dan cuaca bisa menyebabkan kondisi gagal panen. Perubahan geopolitik global, bisa membuat negara-negara produsen komoditas pangan menghentikan ekspornya, dan menyebabkan kenaikan harga energi sehingga terjadi konversi dari makanan menuju energi karena kebutuhan capital”, jelas Moeldoko.
Moeldoko yang juga Ketua Umum HKTI ini menilai, Indonesia masih diuntungkan oleh kondisi iklim dan cuaca. Di mana, fenomena La Nina atau fenomena curah hujan tinggi yang terjadi saat ini, berdampak positif pada sektor pertanian, yakni tidak mengalami gagal panen.
Namun di sisi lain, Indonesia juga terkena dampak terjadinya geopolitik global. Seperti konflik Rusia-Ukraina dan persoalan politik di Belarus.
“Konflik Rusia-Ukraina membuat kita tidak bisa impor gandum. Padahal kebutuhan kita sebesar 30 persen. Persoalan politik di Belarus, membuat kita harus impor pupuk dari negara lain dengan harga lebih tinggi. Belum lagi kenaikan harga minyak dunia yang membuat situasi semakin sulit. Ini tantangan dan harus kita cari solusinya”, tegas Moeldoko.
Menghadapi kondisi tersebut, Moeldoko menegaskan, pemerintah sudah bekerja keras untuk mengantisipasi terjadinya krisis pangan akibat perubahan iklim dan geopolitik global. Seperti melakukan diversifikasi pangan, optimalisasi pupuk bersubsidi agar tepat sasaran, hingga kebijakan politik anggaran untuk ektensifikasi lahan-lahan pertanian.
“Untuk diversifikasi pangan, saya sudah mengawali menanam sorgum di NTT. Dan ternyata dalam kondisi yang kering, sorgum bisa tumbuh dengan subur. Nah, kita perlu mencari altrnatif-alternatif pangan baru untuk menggantikan beras”, pungkas Moeldoko.
Pada kesempatan itu, Moeldoko juga banyak mendengar dan menampung aspirasi stakeholder terkait upaya peningkatan produktivitas pangan. Seperti kemudahan perizinan pengembangan varietas benih baru, penyelesaian konflik lahan-lahan pertanian dan perkebunan, serta optimalisasi Koperasi Unit Desa (KUD) untuk mengatasi permainan tengkulak.
“Kami harap pemerintah melestarikan KUD demi mencapai kesejahteraan petani. Selama ini, petani lebih banyak menjual hasil tanam ke tengkulak meski harga rendah”, papar Nanang Bona petani asal Yogyakarta.
Sebagai informasi, KSP Mendengar merupakan program Kantor Staf Presiden untuk menjaring aspirasi masyarakat terkait pelaksanaan program dan isu strategis pemerintah. Hal ini, sesuai dengan tugas Kantor Staf Presiden, yakni menyelenggarakan pemberian dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan pengendalian program-program prioritas nasional, komunikasi politik, dan pengelolaan isu strategis. (btp; foto humasksp)