Sinmeta-, Usai melukis teks mural di flyover Klender (10/8) dan Pasar Induk Beras Cipinang (25/8), Komunitas Kolaborasi, kolektif Jakarta Art Movement dan Papatong Artspace kembali beraksi di flyover Cipinang, Jakarta Timur (31/8).
Inilah komitmen sejumlah personal dan komunitas kreatif serta seniman ini semata-mata untuk merayakan bulan sakral bagi bangsa Indonesia. Mural-mural ditorehkan di dinding kota yang bermuara pernyataan proklamator kita, Bung Hatta.
“Bukti mendatangkan beras dari luar negeri itu saja adalah suatu penghinaan bagi bangsa kita yang menduduki Tanah Air yang begitu luas dan subur”, ujar Bung Hatta, yang dikutip dari teks-teks dalam kumpulan esainya di buku Koperasi Membangun dan Membangun Koperasi bertarikh 1971.
Teks mural yang terpampang di flyover sejajar dengan akses rel keteta api dari jalan raya di stasiun Jatinegara menuju Bekasi menjadi akhir dari aktifitas di tiga titik mural. Kali ini, karya mural menimbang ingatan proklamator Bung Hatta, selain menyampaikan visi berbangsa dengan isu utama kemandirian pangan dan nasib petani Indonesia.
“Prestasi swasembada beras tidak seiring sejalan dengan kesejahteraan petani sebagai produsen gabah dan beras. Maka seni mural di flyover Cipinang memberi pencerahan di bulan sakral ini, mengingatkan kembali cita-cita Hatta‘’, ungkap Bambang Asrini, selaku koordinator mural dan Kurator yang bertanggungjawab dari kolektif Jakarta Art Movement.
Bambang Asrini juga menjelaskan bahwa pandangan Hatta puluhan tahun lampau itu, menemukan kontekstualnya dalam tiga pilar ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan yang berkualitas, aksesibilitas dan distribusinya dengan tata kelola yang benar, dan juga konsumsi pun pemanfaatan yang baik bagi seluruh rakyat Indonesia. “Seni mural adalah medium paling efektif “menghidupkan ulang” sosok Hatta dan isu kemandirian pangan” imbuhya.
Sementara itu, Sonny Muhammad, ketua Komunitas Kolaborasi menambahkan, “utamanya tatkala Pidato Radio pada peringatan Hari Koperasi I tahun 1951, yang kemudian dibukukan pada 1971 dalam judul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun Hatta memberi fundamen tentang tugas koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional yang ideal”, tuturnya.
Pandangan pendiri Papatong Artspace, seniman Yeni Fatmawati mengatakan “Sudah tepat pemilihan kata-kata Bung Hatta sebagai pengingat yang dihadirkan berupa mural-mural oleh sejawat seniman. Bulan kemerdekaan seharusnya menjadi momen reflektif kita semua dan 77 tahun menjadi bangsa yang baru berkomitmen untuk membangun dan saling memberi kontrol”, ujarnya.
Pokok-pokok pikiran Hatta dengan Tujuh Pilar keutamaan Koperasi dalam sistem ekonomi Indonesia di bukunya Koperasi membangun dan Membangun Koperasi, jika dikaitkan dengan Kemandirian pangan, maka bisa dijabarkan sesuai konteksnya hari ini.
Yakni, pertama memperbanyak produksi pangan, kedua pemperbaiki kualitas dari pangan, ketiga memperbaiki distribusi dan pengelolaan, keempat mengontrol harga secara adil diantara produsen, pedagang sampai konsumen, kelima adalah memangkas jalur tengkulak, keenam memperkuat pengumpulan dan penyatuan aset/modal secara gotong royong dan terakhir ketujuh: ketersediaan lumbung-lumbung pangan di daerah.
Khudori seorang aktifis di Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), menyatakan bahwa dalam isu swasembada beras yang diberikan oleh International Rice Research Institute (IRRI), pada 14 Agustus 2022 ada hal yang perlu dicermati.
“Penghargaan bertajuk Acknowledgment for Achieving Agri-food System Resiliency and Rice Self-Sufficiency during 2019-2021 through the Application of Rice Innovation Technology seolah mengulang capaian pada 1984: Indonesia diganjar penghargaan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) karena mampu swasembada beras. Tapi, capaian itu hanya bisa dipertahankan beberapa tahun”, ujar Khudori.
Dalam periode panjang, selama berdekade-dekade, Indonesia menjadi importir beras rutin. “Sebenarnya, pengakuan Indonesia tidak mengimpor beras periode 2019-2021 itu khusus untuk beras umum atau beras medium, yang impornya hanya bisa dilakukan oleh Bulog”, kata Khudori.
Masalahnya, kata Khudori, prestasi ini tidak seiring sejalan dengan kesejahteraan petani sebagai produsen gabah dan penggilingan sebagai produsen beras. Sejak ada beleid harga eceran tertinggi (HET) pada September 2017, petani menerima harga gabah yang rendah dan terus menurun. Hal serupa terjadi pada penggilingan padi. Harga beras di konsumen terus tertekan.
“Bagi yang menggunakan kaca mata kuda, harga gabah dan beras stabil adalah prestasi membanggakan bagi pemerintah. Stabilnya pasokan dan harga membuat inflasi yang disulut oleh beras akan rendah. Namun pandangan ini amat bias kepentingan konsumen dan abai kepentingan produsen, yaitu petani”, pungkas Khudori. (lela; foto bas)