Sinmeta-, Upaya memberikan gambaran yang bisa didapat masyarakat terkait kehidupan pesantren dengan para santri dan santriwatinya, menjadi satu dari sedikit wajah perjalanan lembaga yang telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka ini, dibesut dalam film semi dokumenter yang bertajuk Pesantren.
Adalah Shalahuddin Siregar sang sutradara film tersebut mengakui apa yang ia sajikannya itu belum dapat dianggap mewakili wajah dunia pendidikan pesantren sesungguhnya. Lantaran sejak awal dirinya hanya memfokuskan diri pada satu aspek yang jarang tersentuh yakni kedudukan perempuan dalam Islam.
Sedangkan keseharian dan aktifitas para pihak yang terlibat hanya menjadi pengantarnya. Meski diakui atau tidak, terpetik adanya pesan yang lebih besar yang ingin disampaikannya tentang kesediaan untuk menerima perbedaan.
“Sesungguhnya ini bukan cerita yang menggambarkan pesantren pada umumnya yang ada. Melainkan berkisah pesantren dengan kedudukan perempuan dalam Islam”, jelas Shalahudin Siregar selaku sutradara sekaligus produser film Pesantren di XXI Epicentrum Kuningan, Jakarta Selatan (1/8) sore.
Film yang diproduksi Negeri Film di tahun 2015 itu, mengambil set-up kehidupan para santri di Pondok Kebon Jambu Al Islamy. Diedarkan di tahun 2020 lalu, dan terpaksa terhenti karena pandemi. Dan segera film ini ditayangkan di bioskop pada 4 Agustus nanti. Sementara distribusinya di bioskop dilakukan Lola Amalia Productions.
“Awalnya dirilis 2019 di Belanda, lalu 2020 seharusnya dirilis tapi pandemi jadi ketahan dan baru naik ke bioskop 4 Agustus mendatang dengan layar terbatas. Dan saya telah membawa keliling film ini di 10 pesantren”, kata Lola Amalia di Jakarta.
Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki 25.000 pesantren. Karena terkesan tertutup, banyak stigma negatif yang dilekatkan padanya. Film Pesantren adalah usaha untuk mencari tahu tentang hal itu, tentang bagaimana kehidupan para santri di pesantren melalui kisah dua santri dan guru muda di Pondok Kebon Jambu Al-Islamy. Sebuah pesantren terbesar dengan 2000 santri di Cirebon, Jawa Barat.
Pondok pesantren ini adalah pesantren tradisional pada umumnya, tetapi istimewa karena dipimpin oleh perempuan. “Saya sebenarnya melihat utuh film ini 2018 dan dikerjakan dengan editor orang Jerman dengan proses pengerjaan yang panjang. Saya saat itu bilang kalau film ini harus naik sebagai perspektif bahwa pesantren dan islam itu berkembang dengan sangat baik”, kata Lola Amalia.
Film Pesantren yang dibesut Shalahuddin Siregar ini, paska penggarapan film ‘Negeri di Bawah Kabut’ yang rilis pada tahun 2011, mengisahkan perjalanan seorang anak laki-laki yang dipaksa untuk masuk pesantren oleh orang tuanya karena keterbatasan biaya.
“Setelah saya membuat Negeri di Bawah Kabut, saya tergerak untuk membuat dokumenter tentang kehidupan di dalam pesantren. Perjalanannya begitu panjang. Saya membuat film ini 2015, syuting lalu riset sampai 2016. Lanjut syuting 2018. Editing 2018 di Jerman lalu kembali syuting pada 2019 dan pertama kali ditonton di Belanda”, kisahnya Shalahuddin Siregar lebih lanjut. (lela; foto wem)