Jelang Pilkada 2024, KPUD Papsel Tidak Jeli Lakukan Verifikasi Data

SINMETA.CO.ID, Merauke – Menjelang Pemilihan Kepala Daerah yang tinggal beberapa bulan lagi, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi Papua Selatan akhirnya mengumumkan hasil verifikasi faktual terkait ijazah semua calon gubernur dan wakil gubernur yang ikut dalam pemilihan kepala daerah mendatang pada hari Jumat, 6 September 2024.

Berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan, KPUD memastikan bahwa ijazah dari seluruh calon tersebut tidak bermasalah, karena telah diperiksa langsung ke lembaga pendidikan, universitas dan sekolah tinggi yang mengeluarkan ijazah. Press Conference KPUD Papua Selatan disampaikan oleh Helda Richarda Ambay salah satu komisioner divisi umum, keuangan dan logistik.

Namun, dalam proses verifikasi ini, beberapa isu telah teridentifikasi yang menimbulkan kekhawatiran. Salah satunya adalah ijazah dari Darius Gewilom. Meskipun KPUD Papua Selatan telah menerima informasi bahwa Darius Gewilom adalah alumni dari lembaga pendidikan yang dinyatakan, namun verifikasi ini tidak melibatkan pengecekan pada Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD DIKTI). Data dari PD DIKTI menunjukkan bahwa ijazah Darius Gewilom tidak terdaftar di pangkalan data tersebut, meskipun dia lulus pada tahun 2008 dan seharusnya seluruh data lembaga pendidikan sudah terdaftar di PD DIKTI  karena aktifitas pangkalan data telah dimulai dari tahun 2003, mengapa Darius Gewilom yang lulus tahun 2008 tidak terdaftar ?

Lebih lanjut, terdapat perbedaan mencolok antara Nomor Pokok Mahasiswa (NPM) yang tercantum pada ijazah Darius Gewilom dan surat keterangan dari Politeknik STIA LAN. NPM yang tercantum pada ijazah adalah 0120000018, sementara pada surat keterangan tertulis NPM 0212000018. Ketidaksesuaian ini menimbulkan keraguan mengenai keabsahan data mahasiswa Darius Gewilom, terutama karena NPM pada surat keterangan dan ijasah tidak sama. Kemudian, lebih parah lagi kedua NPM tersebut tidak terdaftar di PD DIKTI. Sebaiknya hal ini menjadi perhatian dari KPUD karena menyangkut kesalahan data yang fatal.

Selain itu, ijazah dari Petrus Safan calon wakil gubernur juga menjadi perhatian. STIE Adhy Niaga yang berlokasi di Bekasi, lembaga pendidikan tempat Petrus Safan menempuh studi, sudah tidak ada lagi dan tidak bisa melakukan legalisasi ijazah sejak tahun 2015.  Sementara proses legalisasi harus tercantum pada ijasah lulusan. Selain itu, Ijasah yang dicurigai dilegalisir secara tidak bertanggungjawab oleh STIE Adhy Niaga tidak mencantumkan tanggal yang jelas kapan telah dilegalisir. Ini jelas adalah pembohongan publik dan harus diselidiki ujar, Benediktus Amta, S.Pd, pengurus LPKM (Lembaga Peduli Kesejahteraan Masyarakat) Kabupaten Mappi.

Pembekuan STIE Adhy Niaga, dilakukan oleh Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M. Nasir karena dugaan praktik jual beli ijasah. Saat itu, Menteri M. Nasir  menyikapi pengaduan masyarakat yang masuk ke Kemenristek Dikti. Berdasarkan pengaduan tersebut,  ada 18 perguruan tinggi yang melakukan praktik transaksi jual beli ijazah dan mengeluarkan ijazah palsu. Ke-18 perguruan tinggi tersebut terdapat di wilayah Jabodetabek dan di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Salah satu perguruan tinggi yang melakukan praktik jual-beli ijazah adalah sebuah perguruan tinggi di Bekasi STIE Adhy Niaga. Masalah ini langsung diserahkan kepada KAPOLRI pada masa itu dan menjadi isu besar.

Meskipun data Petrus Safan datanya ada pada pangkalan data DIKTI, sayangnya waktu tempuh perkuliahan hanya 2 tahun dari yaitu dari tahun 2005 hingga 2007, sedangkan peraturan  pendidikan yang berlaku mengharuskan waktu tempuh studi untuk gelar sarjana adalah 4 tahun menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 49 Tahun 2014.

Praktik jual-beli ijazah palsu jelas-jelas melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 28 ayat 6 dan 7, Pasal 42 ayat 3, dan Pasal 44 ayat 4. Ancaman pidananya penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp 1 miliar ungkap mantan Mendikbud M Nuh.

Bahkan pada tahun 2018, Wakil Ketua Komisi X Hetifah Sjaifudian pada waktu itu menilai aksi kongkalikong antara kampus dan pejabat Kemenristekdikti tidak boleh dibiarkan. Apalagi, ia mencatat kasus itu bukan pertama kali terjadi. Temuan itu menurutnya adalah kejahatan yang tidak bisa ditolerir dan harus diberi efek jera.

Dosen hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar pada tahun tersebut (2018) menilai ada unsur pidana dalam kasus jual beli ijazah itu. Mereka yang terlibat dalam penerbitan ijazah bisa dikenakan hukuman pidana berdasarkan pasal 263 KUHP dengan ancaman maksimal 6 tahun.

Berdasarkan temuan ini, KPUD Papua Selatan diingatkan untuk lebih cermat dalam proses verifikasi dokumen, terutama yang berkaitan dengan dokumen negara, guna menghindari dampak hukum sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 6 Tahun 2022.

Ijasah Darius Gewilom dan Petrus Safan tidak hanya bermasalah secara adminsitrasi tapi juga berdampak pada masalah hukum, karena menyalahi aturan dan penyalagunaan dokumen negara.

Semestinya KPUD Papua Selatan tidak memaksakan untuk melanjutkan masalah ijasah tersebut dan mendiskualifikasi Darius Gewilom dan Petrus Safan. Lebih dari itu, KPUD Provinsi Papua Selatan harus memperbaiki dan meningkatkan proses verifikasi agar keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan dan memenuhi standar yang ditetapkan dan nantinya tidak bertabarakan dengan masalah lain dikemudian hari. Jangan sampai KPUD Papua Selatan dianggap tidak serius dan tidak berkompeten melaksanakan tugas dan kerjanya.

Bagikan berita ini:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous post 14 Tersangka Diamankan Terkait Karhutla di Jambi
Next post Penyanyi Puput Novel Meninggal Dunia