Sinmeta-, Mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI segera mengevaluasi kriteria pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) bagi pemerintah daerah. Lantaran, selama ini, pemberian opini WTP di beberapa daerah kerap tidak sesuai dengan kinerja pengelolaan keuangan di daerah.

“Kami menganggap yang salah itu sistem BPK RI yang harus dibenahi. Itu tidak menutup kemungkinan terjadi di daerah”, ucap Komite IV DPD RI Elviana di sela-sela Sidang Paripurna DPD RI (9/12).

Saat ini terdapat daerah yang memiliki banyak temuan justru diberikan opini WTP oleh BPK RI. Seharusnya opini WTP diberikan kepada daerah dengan nol temuan atau temuan yang sedikit.

“Kami melihat beberapa temuan. Pertama, di BPK Perwakilan Sumatera Barat. Pemprov Sumatera Barat itu dapat WTP 5 kali berturut-turut, padahal ada 383 rekomendasi atau temuan BPK yang harus ditindaklanjuti. Jadi WTP itu apa sebenarnya ?”, tanya Elviana.

Kriteria Pemberian Opini WTP Ke Pemerintah Daerah Harus Dievaluasi

Selain itu, lanjut Elviana, Komite IV juga menemui daerah dengan temuan yang sama meningkat dalam hal pembelian barang di tahun berikutnya, juga diberikan opini WTP tanpa adanya perbaikan atas temuan tersebut oleh pemerintah daerah.

“Kami rapat dengan BPK Perwakilan Sumut, di situ, hasil ketidakpatuhan Pemprovnya meningkat. Tahun 2019 itu ada 12 kasus belanja tanpa spek dan di tahun 2022 meningkat menjadi 15 temuan. Artinya terjadi peningkatan kecurangan, ketidakpatuhan, tetapi kok dapat WTP”, tukas Anggota DPD RI Dapil Jambi ini.

Tanpa adanya perbaikan atas temuan-temuan tersebut yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada, dikhawatirkan akan terus berulang dan berpotensi pada terjadinya tindak korupsi. Menurutnya, seharusnya dalam pemeriksaan laporan keuangan daerah, tidak hanya inspektorat, Bappeda, ataupun Sekretaris Daerah saja yang menemui auditor BPK perwakilan daerah, tetapi juga Kepala Daerah.

“Tujuannya agar setiap kepala daerah mengetahui temuan-temuan yang harus segera ditindaklanjuti dan tidak diulang di tahun berikutnya”, lanjut Elviana.

Dalam Sidang Paripurna ke-6 Masa Sidang II Tahun Sidang 2022-2023 tersebut, Komite IV DPD RI juga menyoroti pengaturan dana desa oleh pemerintah pusat. Komite IV menilai, adanya mandatori dari pusat terkait pembagian alokasi-alokasi dana desa, justru merugikan desa.

Hal tersebut disebabkan karena kebutuhan tiap desa di Indonesia tidaklah sama. Contohnya adalah pengaturan alokasi 40% dari dana desa untuk penyelesaian masalah stunting ataupun 40% untuk Bantuan Langsung Tunai. Adanya pengaturan penggunaan dana desa tersebut dinilai sebagai bentuk pelimpahan kewajiban pemerintah pusat ke desa.

“Stunting itu kan sebenarnya tugas pemerintah pusat. Jadi pemerintah pusat mulai membebankan kewajibannya ke dana desa. Kami mendesak agar terwujud otonomi dana desa. Kalau masih bersifat mandatori dari pusat tidak mungkin dikelola kepala desa, karena masing-masing kepala desa memiliki kebutuhan yang berbeda-beda”, ucap Wakil Ketua Komite IV DPD RI Novita Anakotta.(ars/tjoek; foto humasdpdri)

By admin

Related Post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *