Pembekalan Substansi UU Cipta Kerja Dan Peraturan Turunannya Pasca Putusan MK Dan UU Nomor 13 Tahun 2022

Sinmeta-, Direktorat Jenderal Tata Ruang menggelar Pembekalan Substansi Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Turunannya Pasca Putusan Makhkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 pada Kamis (08/09) di Jakarta secara daring dan juga luring.

Pada sesi pertama, Sekretaris Direktorat Jenderal Tata Ruang, Farid Hidayat mengatakan bahwa kegiatan pembekalan ini dalam rangka mewujudkan konstitusionalitas UUCK pasca Putusan MK dan merupakan overview kebijakan dalam hal penyelenggaran penataan ruang.

“Terdapat terobosan yang dilakukan agar proses perizinan dan iklim investasi di Indonesia semakin baik, jadi tidak hanya pengurangan jumlah prosedur tetapi juga penyederhanaan dalam prosesnya sehingga bisa menciptakan efisiensi waktu dalam proses perizinan tersebut”, ujar Farid Hidayat. Sekaligus bahwa peran penataan ruang sangat strategis melalui terobosan penyederhanaan dalam penyusunan rencana tata ruang baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah provinsi/kabupaten/kota.

Pada kesempatan yang sama Fungsional Pengelola Ekosistem dan Pesisir Ahli Madya, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Abdi T. Priyanto menjelaskan bahwa selama ini ruang laut memiliki potensi yang sangat besar dari perikanan, wisata bahari, pertambangan di laut, industri kelautan, jasa kelautan, dan termasuk jasa ekosistem yang selama ini masih dibatasi.

“Dengan adanya UUCK dan peraturan penyelenggaraan penataan ruang sebagai turunan UUCK diharapkan menjadi pintu masuk agar nanti perencanaan di darat dan di ruang perairan bisa menyatu, sehingga bagian dari wilayah laut bisa menjadi satu fokus utama”, jelas Abdi T. Priyanto.

Lebih lanjut bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan kelestarian ekosistem perlindungan biota, kepentingan masyarakat tradisional, dan hal lainnya yang menjadi penapis dari pengajuan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).

Ada beberapa rencana yang belum ditetapkan di ruang laut sehingga nanti akan menggunakan asas berjenjang dan komplementer dengan menggunakan perencanaan yang sudah ada aturan hukumnya dan menjadi dasar dalam pemberian PKKPRL.

Sedangkan di sesi kedua, Plt. Asisten Deputi Penataan Ruang dan Pertanahan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kartika Listriana mengatakan bahwa sebelumnya banyak sekali isu ketidaksesuaian tata ruang, kawasan hutan, izin dan/atau hak atas tanah yang dinilai membelenggu jalannya percepatan pembangunan, baik itu konteks pembangunan nasional maupun di daerah.

“Banyak sekali investasi yang terkendala dan terhambat karena adanya ketidaksesuaian tersebut”, jelas Kartika Listriana.

Ditambahkan oleh Kartika Listriana bahwa selain konteks ketidaksesuaian tata ruang, ternyata terdapat perbedaan regulasi dengan sektor lain di dalam perencanaan pembangunan, termasuk dokumen rencana tata ruang khususnya yang terkait data spasial, baik itu dari sektor kehutanan, SDM, maupun pertanian, sehingga diharapkan dengan UUCK dan peraturan turunannya dapat menjadi salah satu solusi berbagai isu tersebut.

Pengendali Dampak Lingkungan Ahli Madya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Fatma Juwita menjelaskan bahwa definisi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan tetap berkelanjutan menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan.

“Dokumen perencanaan dalam hal ini terkait tata ruang akan dianalisis dahulu melalui KLHS dengan dikaitkan dengan 6 (enam) muatan KLHS antara lain daya dukung dan resiko dampak”, ujar Fatma Djiwita.

Fatma Djuwita menambahkan bahwa dalam proses integrasi antara tata ruang dengan KLHS adalah ketika melakukan persiapan penyusunan rencana tata ruang KLHS turut melakukan persiapan, sehingga pada saat rapat koordinasi lintas sektor dapat berjalan dengan lancar.

Pada kesempatan yang sama Staf Ahli Menteri Bidang Pengembangan Kawasan Kementerian ATR/BPN, Dwi Hariyawan menjelaskan bahwa peraturan yang saat ini berlaku telah menyatukan Ruang Terbuka Hijau (RTH), Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH), dan ditambahkan dengan Ruang Terbuka Biru (RTB) yang ternyata Ruang Terbuka Biru adalah yang paling besar memberi kontribusi terhadap lingkungan sehingga ketiga unsur tadi sangat penting untuk menjadi satu kesatuan.

“RTH ini memang harus dilakukan secara proporsional disetiap daerah dan tersebar merata di seluruh Indonesia”, ujar Dwi Hariyawan.

Lebih lanjut, Dwi Hariyawan menambahkan bahwa RTH itu tidak hanya sekedar menyediakan ruang tumbuh tanaman, tetapi harus mencakup dua fungsi, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial yang dapat menjadi tempat berkumpul, wisata, dan lainnya. (tjoek; foto humas atrbpn)

Bagikan berita ini:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous post Tekanan Harga Pangan Dan Energi Cukup Berat Di Berbagai Negara Dunia
Next post Sepakati Asumsi Makro Sektor ESDM RAPBN 2023, ICP Dipatok USD95 Per Barel